Rabu, 22 Mei 2013

Permen untuk Bahu



Iswan Sual





Sesampai di terminal Karombasan, cepat-cepat aku naik ke bus dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Karena matahari sangat terik kubuka sedikit jendela agar udara segar bisa masuk. Walaupun sebenarnya udara segar itu sudah sedikit tercemar oleh bau pesing dan sisa makanan yang dibuang secara sembarang di selokan. Beberapa anak dan lelaki dewasa bergantian menempel di kaca jendela untuk memamerkan jualannya. Diselingi rayuan-rayuan kecil nan lucu yang sudah usang. Mereka menjual buah kadondong yang telah dicelup dalam gula selama semalam. Aku paling tidak suka membeli yang manis-manis di kala matahari penuh dendam membakar. Tak banyak pemandangan indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang telah berdempetan seperti ikang roa menghalangi pandangan mata yang mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan kita panjang umur.
Karena panas kian tak tertahan kucabut koran yang aku tohokkan di saku samping tas punggungku. Kubalik-balikkan koran mencari berita yang mampu mengusir kegerahan dalam bus bak oven pemanggang. Kalau waktu dalam oven ini diperpanjang lagi pasti semua penumpang akan tafufu seperti ikan cakalang. Koran yang sedang kubaca sesekali kualihfungsikan sebagai kipas. Kondektur masih terus meneriakkan nama kampung asal Om Sam Ratulangi. Tondano menjadi begitu murah di terminal Karombasan karena diteriakkan berkali-kali menyaingi sebungkus kacang dari mulut para tunanetra. “Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua  penumpang makin gelisah. Semua kami menjadi cacing kepanasan yang meliuk-liuk dalam panggangan. Kesabaran. Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti itu hanyalah kesabaran. Sebab tak mungkinlah kami turun mencari angin terlebih dahulu. Orang lain akan sangat senang mengganti posisi kami.
“Tondano…Tondano! Satu lei”
Tak sengaja mataku tertuju ke depan. Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut terurai berdiri di pintu bus memindai setiap kursi. Akupun ikut memindai. Beberapa kursi masih kosong. Di sebelahku juga masih kosong. Mata kami bertemu selama tiga detik. Gadis itu bukan main cantiknya. Dia adalah representasi gadis Minahasa yang sempurna secara fisik.
Karena tak ingin harga diri jatuh, aku menunduk berpura-pura melanjutkan membaca. Potret gadis itu tersimpan dalam benak. Dia berkaos merah dan celana jins panjang hitam. Wajahnya mirip Dian Sastro. Aduhai! Bilamanakah seorang lelaki kampungan seperti saya bisa mendapat seorang gadis seperti Dian Sastro Mimpi kali ye!
Tak beberapa lama kemudian seseorang telah duduk di sampingku. Tak berniat aku menoleh sedikitpun ke samping. Sungguh tak sopan bila harus bertemu muka dengan jarak yang teramat dekat. Aku bergeser sedikit ke jendela. Leher yang mulai keram perlu sedikit rileks. Jadi, kusandarkan sejenak kepalaku di kaca jendela. Seketika itu sang sopir menghidupkan mesin. Badan buspun sedikit gemetar sehingga kepalaku terbentur kecil-kecil di kaca jendela. Lama-lama rasa kantuk mulai datang. Orang yang duduk di sebelahku rupanya juga mengalami gejalah yang sama. Kepala orang yang duduk di sebelahku bergerak maju mundur seperti tak terkontrol. Rupanya kantuknya lebih parah dariku. Saat kesadaranku sedikit menghilang, terasa ada yang menepuk-nepuk bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu dilakukan secara kebetulan. Biasanya orang yang memuat barang di bagasi atas kepala secara tak sengaja menyangkutkan barang pada penumpang terdekat. Lama-lama tepukkan itu makin keras dan mulai agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh ke arah yang mengusik itu. Ya ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku tersentak senang. Ternyata Dian Sastro mau juga menyentuh seorang lelaki kampungan ini.
“Cowo, bole pinjam bahu?” tiba-tiba Dian Sastro bicara.
Aku kaget setengah mati. Apa aku mimpi di siang bolong? Mana mungkin Dian Sastro mau meminjam bahuku. Jangankan meminjamkan, memberikan untuk selamanya pun aku rela.
Kutarik nafas dalam diam-diam. Kupandangi Dian Sastro dengan sedikit pongah dan kuanggukkan kepada sebagai tanda memberi izin agar bebas menaruh bahunya di pundakku. Jantungku yang berdebar kutakhlukan agar tak liar. Badanku yang mulai gemetar segera kukuasai. Dian Sastro akhirnya mendaratkan pipi kanannya ke pundakku.
Orang yang duduk di kursi belakang dan depan serta samping pasti takkan percaya bahwa dia bukan kekasihku. Kemesraan ini jangan cepat berlalu. Aku berharap bus meluncur dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam. Aku juga berharap bus ini mogok di area penginapan Makatembo Tinoor. Pasti suasana di situ akan menambah keromantisan Dian Sastro dan aku.
Tapi rupanya sopir cemburu dengan kemesraan ini. Lari bus tak terkendali. Hampir mencapai 80 km per jam. Jalan yang penuh dengan kelok tak dipedulikannya. Berkali-kali Dian Sastro terhuyung-huyung membentur punggung kursi depan. Dalam setengah tidur Dian Sastro merapat lebih dekat.  Dipeluk erat lenganku. Dalam diam aku salah tingkah.
Dalam diam aku bertanya-tanya, “Kenapa gadis ini berani meminjam bahu seseorang yang tak dikenalnya?” Mungkin hal ini adalah sudah biasa bagi dia. Gadis ini mungkin kecapean karena semalam bekerja sebagai seorang penari telanjang di suatu tempat hiburan malam di pusat kota. Barangkali goyangan-goyangan aduhainya begitu menguras tenaga si keke. Atau, mungkin semalam dia melayani beberapa pelanggan yang tak punya hati, tak memberinya jedah. Dipakai kala ganti oleh pelanggan yang umumnya orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang hari untuk memperebutkan proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka ke Bali atau Singapura. Gadis belia ini mungkin hendak melepas penat di kampungnya dekat danau Tondano.
Bus kini sudah memasuki kota Tomohon. Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap. Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri. Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis hingga lupa sama sekali ada seorang gadis lain yang dengan setia menungguku di kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai lagi kursi-kursi yang telah berpenumpang. Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau ada yang kenal aku. Gawat. Bisa kualat! Sofli pasti takkan senang tahu aku bermesraan dengan seorang gadis di dalam bus. Tempat umum.
Perasaanku kini campur aduk. Sentuhan-sentuhan Dian Sastro kian mengancamku. Tentu Sofli takkan sudi mendengar lagi penjelasan bila aku tertangkap basah olehnya atau oleh kawan terpercayannya. Makin bus mendekati Tondano jantungku kian melompat tak karuan. Dinding dada serasa mau jebol. Dian Sastro tiba-tiba bangun. Diperbaiki wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin tahu betul rupa seorang malaikat yang meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas tersenyum, “puas kau tidur kek,” kataku dalam diam.
Dian Sastro merogoh saku jinsnya. Terdengar suara gemerisik.
“Mau permen?” gadis ini memiliki senyum yang indah. Sungguh aku takkan menolak bila nanti dia memintaku meminjamkanya bahu lagi.
Hingga kini aku tetap jaim. Tak sedikitpun kunampakkan bahwa aku sangat terkesan dengan kelakuan beraninya. Dalam hati aku bersyukur pada ilahi yang telah mengirim seorang gadis pengusir penat dalam kebisingan raungan bus sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin sekali aku meminta nomor ponselnya, namun kulempar jauh-jauh keinginan itu. Tak mau aku keadaan yang tadinya indah akan rusak oleh kecerobohanku yang kekanak-kanakkan.
“Muka om!”
Kuturun dari bus tanpa mengucap sepatah kata pun pada gadis peminjam bahu. Dia juga enggan bicara. Sudah cukup dia menahan malu karena telah lancang meminjam bahu seorang yang tak dia tahu sudah menikah atau belum. Hanya nalurilah yang membuat dia yakin bahwa aku masih bujangan. Dalam hal itu dia tak salah.
Ketika bus sudah menjauh aku tersenyum puas. Dalam diam kuucapkan, “Selamat jalan Dian Sastro. Semoga kamu tiba dengan selamat sampai tujuan. Biarlah hal itu menjadi rahasia kita berdua. Perhatian singkat yang aku beri adalah tulus. Sesekali kunjungilah aku dalam mimpi.”

















Permen untuk Bahu



Iswan Sual





Sesampai di terminal Karombasan, cepat-cepat aku naik ke bus dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Karena matahari sangat terik kubuka sedikit jendela agar udara segar bisa masuk. Walaupun sebenarnya udara segar itu sudah sedikit tercemar oleh bau pesing dan sisa makanan yang dibuang secara sembarang di selokan. Beberapa anak dan lelaki dewasa bergantian menempel di kaca jendela untuk memamerkan jualannya. Diselingi rayuan-rayuan kecil nan lucu yang sudah usang. Mereka menjual buah kadondong yang telah dicelup dalam gula selama semalam. Aku paling tidak suka membeli yang manis-manis di kala matahari penuh dendam membakar. Tak banyak pemandangan indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang telah berdempetan seperti ikang roa menghalangi pandangan mata yang mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan kita panjang umur.
Karena panas kian tak tertahan kucabut koran yang aku tohokkan di saku samping tas punggungku. Kubalik-balikkan koran mencari berita yang mampu mengusir kegerahan dalam bus bak oven pemanggang. Kalau waktu dalam oven ini diperpanjang lagi pasti semua penumpang akan tafufu seperti ikan cakalang. Koran yang sedang kubaca sesekali kualihfungsikan sebagai kipas. Kondektur masih terus meneriakkan nama kampung asal Om Sam Ratulangi. Tondano menjadi begitu murah di terminal Karombasan karena diteriakkan berkali-kali menyaingi sebungkus kacang dari mulut para tunanetra. “Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua  penumpang makin gelisah. Semua kami menjadi cacing kepanasan yang meliuk-liuk dalam panggangan. Kesabaran. Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti itu hanyalah kesabaran. Sebab tak mungkinlah kami turun mencari angin terlebih dahulu. Orang lain akan sangat senang mengganti posisi kami.
“Tondano…Tondano! Satu lei”
Tak sengaja mataku tertuju ke depan. Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut terurai berdiri di pintu bus memindai setiap kursi. Akupun ikut memindai. Beberapa kursi masih kosong. Di sebelahku juga masih kosong. Mata kami bertemu selama tiga detik. Gadis itu bukan main cantiknya. Dia adalah representasi gadis Minahasa yang sempurna secara fisik.
Karena tak ingin harga diri jatuh, aku menunduk berpura-pura melanjutkan membaca. Potret gadis itu tersimpan dalam benak. Dia berkaos merah dan celana jins panjang hitam. Wajahnya mirip Dian Sastro. Aduhai! Bilamanakah seorang lelaki kampungan seperti saya bisa mendapat seorang gadis seperti Dian Sastro Mimpi kali ye!
Tak beberapa lama kemudian seseorang telah duduk di sampingku. Tak berniat aku menoleh sedikitpun ke samping. Sungguh tak sopan bila harus bertemu muka dengan jarak yang teramat dekat. Aku bergeser sedikit ke jendela. Leher yang mulai keram perlu sedikit rileks. Jadi, kusandarkan sejenak kepalaku di kaca jendela. Seketika itu sang sopir menghidupkan mesin. Badan buspun sedikit gemetar sehingga kepalaku terbentur kecil-kecil di kaca jendela. Lama-lama rasa kantuk mulai datang. Orang yang duduk di sebelahku rupanya juga mengalami gejalah yang sama. Kepala orang yang duduk di sebelahku bergerak maju mundur seperti tak terkontrol. Rupanya kantuknya lebih parah dariku. Saat kesadaranku sedikit menghilang, terasa ada yang menepuk-nepuk bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu dilakukan secara kebetulan. Biasanya orang yang memuat barang di bagasi atas kepala secara tak sengaja menyangkutkan barang pada penumpang terdekat. Lama-lama tepukkan itu makin keras dan mulai agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh ke arah yang mengusik itu. Ya ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku tersentak senang. Ternyata Dian Sastro mau juga menyentuh seorang lelaki kampungan ini.
“Cowo, bole pinjam bahu?” tiba-tiba Dian Sastro bicara.
Aku kaget setengah mati. Apa aku mimpi di siang bolong? Mana mungkin Dian Sastro mau meminjam bahuku. Jangankan meminjamkan, memberikan untuk selamanya pun aku rela.
Kutarik nafas dalam diam-diam. Kupandangi Dian Sastro dengan sedikit pongah dan kuanggukkan kepada sebagai tanda memberi izin agar bebas menaruh bahunya di pundakku. Jantungku yang berdebar kutakhlukan agar tak liar. Badanku yang mulai gemetar segera kukuasai. Dian Sastro akhirnya mendaratkan pipi kanannya ke pundakku.
Orang yang duduk di kursi belakang dan depan serta samping pasti takkan percaya bahwa dia bukan kekasihku. Kemesraan ini jangan cepat berlalu. Aku berharap bus meluncur dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam. Aku juga berharap bus ini mogok di area penginapan Makatembo Tinoor. Pasti suasana di situ akan menambah keromantisan Dian Sastro dan aku.
Tapi rupanya sopir cemburu dengan kemesraan ini. Lari bus tak terkendali. Hampir mencapai 80 km per jam. Jalan yang penuh dengan kelok tak dipedulikannya. Berkali-kali Dian Sastro terhuyung-huyung membentur punggung kursi depan. Dalam setengah tidur Dian Sastro merapat lebih dekat.  Dipeluk erat lenganku. Dalam diam aku salah tingkah.
Dalam diam aku bertanya-tanya, “Kenapa gadis ini berani meminjam bahu seseorang yang tak dikenalnya?” Mungkin hal ini adalah sudah biasa bagi dia. Gadis ini mungkin kecapean karena semalam bekerja sebagai seorang penari telanjang di suatu tempat hiburan malam di pusat kota. Barangkali goyangan-goyangan aduhainya begitu menguras tenaga si keke. Atau, mungkin semalam dia melayani beberapa pelanggan yang tak punya hati, tak memberinya jedah. Dipakai kala ganti oleh pelanggan yang umumnya orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang hari untuk memperebutkan proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka ke Bali atau Singapura. Gadis belia ini mungkin hendak melepas penat di kampungnya dekat danau Tondano.
Bus kini sudah memasuki kota Tomohon. Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap. Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri. Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis hingga lupa sama sekali ada seorang gadis lain yang dengan setia menungguku di kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai lagi kursi-kursi yang telah berpenumpang. Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau ada yang kenal aku. Gawat. Bisa kualat! Sofli pasti takkan senang tahu aku bermesraan dengan seorang gadis di dalam bus. Tempat umum.
Perasaanku kini campur aduk. Sentuhan-sentuhan Dian Sastro kian mengancamku. Tentu Sofli takkan sudi mendengar lagi penjelasan bila aku tertangkap basah olehnya atau oleh kawan terpercayannya. Makin bus mendekati Tondano jantungku kian melompat tak karuan. Dinding dada serasa mau jebol. Dian Sastro tiba-tiba bangun. Diperbaiki wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin tahu betul rupa seorang malaikat yang meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas tersenyum, “puas kau tidur kek,” kataku dalam diam.
Dian Sastro merogoh saku jinsnya. Terdengar suara gemerisik.
“Mau permen?” gadis ini memiliki senyum yang indah. Sungguh aku takkan menolak bila nanti dia memintaku meminjamkanya bahu lagi.
Hingga kini aku tetap jaim. Tak sedikitpun kunampakkan bahwa aku sangat terkesan dengan kelakuan beraninya. Dalam hati aku bersyukur pada ilahi yang telah mengirim seorang gadis pengusir penat dalam kebisingan raungan bus sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin sekali aku meminta nomor ponselnya, namun kulempar jauh-jauh keinginan itu. Tak mau aku keadaan yang tadinya indah akan rusak oleh kecerobohanku yang kekanak-kanakkan.
“Muka om!”
Kuturun dari bus tanpa mengucap sepatah kata pun pada gadis peminjam bahu. Dia juga enggan bicara. Sudah cukup dia menahan malu karena telah lancang meminjam bahu seorang yang tak dia tahu sudah menikah atau belum. Hanya nalurilah yang membuat dia yakin bahwa aku masih bujangan. Dalam hal itu dia tak salah.
Ketika bus sudah menjauh aku tersenyum puas. Dalam diam kuucapkan, “Selamat jalan Dian Sastro. Semoga kamu tiba dengan selamat sampai tujuan. Biarlah hal itu menjadi rahasia kita berdua. Perhatian singkat yang aku beri adalah tulus. Sesekali kunjungilah aku dalam mimpi.”

















Permen untuk Bahu



Iswan Sual





Sesampai di terminal Karombasan, cepat-cepat aku naik ke bus dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Karena matahari sangat terik kubuka sedikit jendela agar udara segar bisa masuk. Walaupun sebenarnya udara segar itu sudah sedikit tercemar oleh bau pesing dan sisa makanan yang dibuang secara sembarang di selokan. Beberapa anak dan lelaki dewasa bergantian menempel di kaca jendela untuk memamerkan jualannya. Diselingi rayuan-rayuan kecil nan lucu yang sudah usang. Mereka menjual buah kadondong yang telah dicelup dalam gula selama semalam. Aku paling tidak suka membeli yang manis-manis di kala matahari penuh dendam membakar. Tak banyak pemandangan indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang telah berdempetan seperti ikang roa menghalangi pandangan mata yang mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan kita panjang umur.
Karena panas kian tak tertahan kucabut koran yang aku tohokkan di saku samping tas punggungku. Kubalik-balikkan koran mencari berita yang mampu mengusir kegerahan dalam bus bak oven pemanggang. Kalau waktu dalam oven ini diperpanjang lagi pasti semua penumpang akan tafufu seperti ikan cakalang. Koran yang sedang kubaca sesekali kualihfungsikan sebagai kipas. Kondektur masih terus meneriakkan nama kampung asal Om Sam Ratulangi. Tondano menjadi begitu murah di terminal Karombasan karena diteriakkan berkali-kali menyaingi sebungkus kacang dari mulut para tunanetra. “Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua  penumpang makin gelisah. Semua kami menjadi cacing kepanasan yang meliuk-liuk dalam panggangan. Kesabaran. Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti itu hanyalah kesabaran. Sebab tak mungkinlah kami turun mencari angin terlebih dahulu. Orang lain akan sangat senang mengganti posisi kami.
“Tondano…Tondano! Satu lei”
Tak sengaja mataku tertuju ke depan. Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut terurai berdiri di pintu bus memindai setiap kursi. Akupun ikut memindai. Beberapa kursi masih kosong. Di sebelahku juga masih kosong. Mata kami bertemu selama tiga detik. Gadis itu bukan main cantiknya. Dia adalah representasi gadis Minahasa yang sempurna secara fisik.
Karena tak ingin harga diri jatuh, aku menunduk berpura-pura melanjutkan membaca. Potret gadis itu tersimpan dalam benak. Dia berkaos merah dan celana jins panjang hitam. Wajahnya mirip Dian Sastro. Aduhai! Bilamanakah seorang lelaki kampungan seperti saya bisa mendapat seorang gadis seperti Dian Sastro Mimpi kali ye!
Tak beberapa lama kemudian seseorang telah duduk di sampingku. Tak berniat aku menoleh sedikitpun ke samping. Sungguh tak sopan bila harus bertemu muka dengan jarak yang teramat dekat. Aku bergeser sedikit ke jendela. Leher yang mulai keram perlu sedikit rileks. Jadi, kusandarkan sejenak kepalaku di kaca jendela. Seketika itu sang sopir menghidupkan mesin. Badan buspun sedikit gemetar sehingga kepalaku terbentur kecil-kecil di kaca jendela. Lama-lama rasa kantuk mulai datang. Orang yang duduk di sebelahku rupanya juga mengalami gejalah yang sama. Kepala orang yang duduk di sebelahku bergerak maju mundur seperti tak terkontrol. Rupanya kantuknya lebih parah dariku. Saat kesadaranku sedikit menghilang, terasa ada yang menepuk-nepuk bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu dilakukan secara kebetulan. Biasanya orang yang memuat barang di bagasi atas kepala secara tak sengaja menyangkutkan barang pada penumpang terdekat. Lama-lama tepukkan itu makin keras dan mulai agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh ke arah yang mengusik itu. Ya ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku tersentak senang. Ternyata Dian Sastro mau juga menyentuh seorang lelaki kampungan ini.
“Cowo, bole pinjam bahu?” tiba-tiba Dian Sastro bicara.
Aku kaget setengah mati. Apa aku mimpi di siang bolong? Mana mungkin Dian Sastro mau meminjam bahuku. Jangankan meminjamkan, memberikan untuk selamanya pun aku rela.
Kutarik nafas dalam diam-diam. Kupandangi Dian Sastro dengan sedikit pongah dan kuanggukkan kepada sebagai tanda memberi izin agar bebas menaruh bahunya di pundakku. Jantungku yang berdebar kutakhlukan agar tak liar. Badanku yang mulai gemetar segera kukuasai. Dian Sastro akhirnya mendaratkan pipi kanannya ke pundakku.
Orang yang duduk di kursi belakang dan depan serta samping pasti takkan percaya bahwa dia bukan kekasihku. Kemesraan ini jangan cepat berlalu. Aku berharap bus meluncur dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam. Aku juga berharap bus ini mogok di area penginapan Makatembo Tinoor. Pasti suasana di situ akan menambah keromantisan Dian Sastro dan aku.
Tapi rupanya sopir cemburu dengan kemesraan ini. Lari bus tak terkendali. Hampir mencapai 80 km per jam. Jalan yang penuh dengan kelok tak dipedulikannya. Berkali-kali Dian Sastro terhuyung-huyung membentur punggung kursi depan. Dalam setengah tidur Dian Sastro merapat lebih dekat.  Dipeluk erat lenganku. Dalam diam aku salah tingkah.
Dalam diam aku bertanya-tanya, “Kenapa gadis ini berani meminjam bahu seseorang yang tak dikenalnya?” Mungkin hal ini adalah sudah biasa bagi dia. Gadis ini mungkin kecapean karena semalam bekerja sebagai seorang penari telanjang di suatu tempat hiburan malam di pusat kota. Barangkali goyangan-goyangan aduhainya begitu menguras tenaga si keke. Atau, mungkin semalam dia melayani beberapa pelanggan yang tak punya hati, tak memberinya jedah. Dipakai kala ganti oleh pelanggan yang umumnya orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang hari untuk memperebutkan proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka ke Bali atau Singapura. Gadis belia ini mungkin hendak melepas penat di kampungnya dekat danau Tondano.
Bus kini sudah memasuki kota Tomohon. Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap. Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri. Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis hingga lupa sama sekali ada seorang gadis lain yang dengan setia menungguku di kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai lagi kursi-kursi yang telah berpenumpang. Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau ada yang kenal aku. Gawat. Bisa kualat! Sofli pasti takkan senang tahu aku bermesraan dengan seorang gadis di dalam bus. Tempat umum.
Perasaanku kini campur aduk. Sentuhan-sentuhan Dian Sastro kian mengancamku. Tentu Sofli takkan sudi mendengar lagi penjelasan bila aku tertangkap basah olehnya atau oleh kawan terpercayannya. Makin bus mendekati Tondano jantungku kian melompat tak karuan. Dinding dada serasa mau jebol. Dian Sastro tiba-tiba bangun. Diperbaiki wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin tahu betul rupa seorang malaikat yang meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas tersenyum, “puas kau tidur kek,” kataku dalam diam.
Dian Sastro merogoh saku jinsnya. Terdengar suara gemerisik.
“Mau permen?” gadis ini memiliki senyum yang indah. Sungguh aku takkan menolak bila nanti dia memintaku meminjamkanya bahu lagi.
Hingga kini aku tetap jaim. Tak sedikitpun kunampakkan bahwa aku sangat terkesan dengan kelakuan beraninya. Dalam hati aku bersyukur pada ilahi yang telah mengirim seorang gadis pengusir penat dalam kebisingan raungan bus sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin sekali aku meminta nomor ponselnya, namun kulempar jauh-jauh keinginan itu. Tak mau aku keadaan yang tadinya indah akan rusak oleh kecerobohanku yang kekanak-kanakkan.
“Muka om!”
Kuturun dari bus tanpa mengucap sepatah kata pun pada gadis peminjam bahu. Dia juga enggan bicara. Sudah cukup dia menahan malu karena telah lancang meminjam bahu seorang yang tak dia tahu sudah menikah atau belum. Hanya nalurilah yang membuat dia yakin bahwa aku masih bujangan. Dalam hal itu dia tak salah.
Ketika bus sudah menjauh aku tersenyum puas. Dalam diam kuucapkan, “Selamat jalan Dian Sastro. Semoga kamu tiba dengan selamat sampai tujuan. Biarlah hal itu menjadi rahasia kita berdua. Perhatian singkat yang aku beri adalah tulus. Sesekali kunjungilah aku dalam mimpi.”